Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 05 Mei 2014

PROMOSI KESEHATAN KB (KELUARGA BERENCANA



Elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu yang dapat memberikan informasi kondisi ritme jantung, yaitu kondisi normal atau tidak normal. Disritmia merupakan ketidaknormalan ritme jantung yaitu ritme jantung yang tidak teratur. Teknik komputasi dengan artificial intelegence memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendekatan baru pada sistem biomedis, seperti pengenalan disritmia. Dalam mengenali kelainan ritme jantung dapat dilakukan berbagai macam metode. Metode penelitian yang sudah pernah dilakukan seperti menggunakan digital filter IIR dengan metode klasifikasi fuzzy logic. Dalam penelitian ini digunakan analisa dinamika non linear sebagai ekstraksi fitur dari sinyal elektrokardiogram. Parameter dinamika non linear yang digunakan yaitu detrend fluctuation analysis (DFA), poincare plot dan spectral entropy. Metode Recurrent Neural Network sebagai pengklasifikasi disritmia, dari tiga kelas data yang diujicobakan (Normal Sinus Rhythm (NSR), Atrial Fibrillation (AF), Ventricullar Fibrillation (VF)) didapat akurasi yang terbaik sebesar 90%.

Perjalanan ke Eropa tentu sudah dilakukan banyak orang dengan rute yang terkadang hampir sama. Catatan perjalanannya pun dapat dipastikan tak jauh berbeda. Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post yang mengakhiri perjalanan ke Eropa pekan lalu, mencoba berbagi cerita keunikan Benua Biru itu. Mulai dari nikmatnya suasana warung kopi di Venice, Italia yang berdiri sejak 1720, hingga spa dan pijat unik ala Turki.
JIKA bepergian ke mana pun, baik dalam maupun luar negeri, saya dan istri memang lebih suka menikmati keunikan-keunikan lokal. Bukannya belanja luxurious productsatau hunting cenderamata.  Mendapatkan experience keunikan lokal lebih nikmat rasanya dibanding belanja.
Ketika merancang perjalanan ke Eropa yang dimulai dari Italia pertengahan Oktober hingga awal November 2011, Venice atau Venezia menjadi salah satu tujuan utama kami. Bahkan, tempat yang wajib didatangi di kota Italia Utara itu, yakni Caffé Florian, warung kopi yang dibangun sejak tahun 1720.
Bagi saya, Venice menjadi tujuan utama yang harus dikunjungi, karena kota yang berpenduduk sekitar 272.000 jiwa ini dikenal dengan seribu keunikan dan sejarahnya. Mulai dari sebutan kota paling romantis di Eropa selain Paris, hingga keindahan arsitek sejak periode Renaisans akhir abad 13. Kota ini juga punya peran penting terhadap perkembangan sejarah musik opera  hingga kota kelahiran musisi terkenal, Antonio Vivaldi.
Venicejuga identik dengan air. Ini karena kotanya terdiri dari 117 pulau kecil yang  terhubungkan dengan 150 jembatan dan 400-an kanal. Karena itu, Venice juga disebut sebagai kota kanal. Letaknya tepat di bibir Laut Adriatik di timur laut Italia.
Untuk menuju ke Venice, kami yang mengendarai bus melintasi jembatan panjang Ponte della Liberta yang menghubungkan Venice dan Mestre. Kami turun di Piazalle Roma atau Tronchetto dan berjalan kaki menuju dermaga penyeberangan Bacino Stazione Maritima. Dengan mengendarai  taksi air, perjalanan membelah Grand Canal menuju Piazza San Marco, Venicedapat ditempuh sekitar 30 menit.  
Di Kota Venice tak ada mobil atau kendaraan bermotor. Sarana transportasinya hanyalah perahu bermotor atau berjalan kaki menelusuri jalan-jalan setapak. Karena itu juga di Venice terkenal sampan dayung tradisional yang disebut gondola.  Uniknya, sambil menelusuri kanal-kanal sempit menggunakan gondola, si pengayuh sampan tak jarang bernyanyi dan sesekali bersiul irama lagu-lagu tradisional Italia. Romantic abizz dah!
Saat di Venice, cuaca ketika itu cerah. Walau matahari lumayan menyilaukan mata, hawa terasa dingin karena memang mulai memasuki musim dingin, sehingga jaket pun tak pernah lepas dari badan.  Tampak banyak burung dara berkeliaran di Piazza San Marco, lokasi favorit di Venice.  Anak-anak saya , Aqil dan Akmal puas bermain burung dara dengan memberinya potongan roti.
Mata saya terus menerus menuju Caffe Florian yang satu lokasi dengan tempat kerumunan burung. Ada  live music yang dimainkan oleh pemusik lokal saat itu. Permainan alat musik yang sungguh apik, terdiri dari piano, flute, biola, dan accordion. Tak jarang pengunjung berdansa di depan kafe atau sekadar melihat dari dekat. 
Tak lama kemudian kami memutuskan untuk duduk di Caffe Florian, tak jauh dari panggung musik karena memang ingin menikmati suasananya. Di dalam gedung masih ada ruangan yang tertata bergaya Italia klasik. Dan ternyata, menikmati suasana dengan mendengar musik klasik harus dibayar dengan harga 6 EUR per lagunya. Di nota pembayaran tertera Supplemento Musica 2 x 6,00. Artinya, selama duduk di situ, kami  menikmati 2 lagu dan harus membayar EUR 12 atau Rp 148.800. Sebenarnya kalau saya hitung, mungkin ada 5 lagu yang saya nikmati. Mungkin diskon 3 lagu sehingga hanya membayar 2 lagu. Entahlah…
Pelayanannya sangat ramah dan terus menerus melayani sejak kami datang. Untuk makan dan minum, saya pesan dua Pizza Florian, satu Club Sandwich Tacchino, 1 Coffee Latte dan dua hot tea English breakfast. Semua pesanan ini plus 2 musik tadi, saya harus membayar sebesar EUR 81,50 atau setara Rp 1.010.600. Ini belum termasuk uang tip yang sukarela saya tinggalkan di meja sebesar EUR 5. Cukup mahal memang. Ini diakui oleh beberapa pengunjung yang saya temui di beberapa web di internet, walau tak sedikit juga yang mengatakan harga itu tak mahal karena kita mendapatkan suasana yang menarik, yang tak bisa kita dapatkan di tempat lain. Saya sependapat dengan komentar terakhir. Romantisme, keunikan, sejarah dan keramahan  yang tak bisa didapat di tempat lain, telah saya dapatkan di Caffe Florian.
Kafe ini sudah dibuka sejak 29 Desember 1720.  Dari berbagai sumber yang saya himpun menyebutkan, sebenarnya saat pertama kali dibuka, kafe ini bernama Caffe Alla Venezia Trionfante (Café Triumphant Venice). Tapi kemudian lebih dikenal dengan nama Caffe Florian karena nama pemiliknya Floriano Francesconi. Kafe ini kemudian cukup dikenal banyak kalangan dan menjadi tempat favorit sejumlah nama-nama besar seperti  dramawan asal Venice Carlo Osvaldo Goldoni, Johann Wolfgang von Goethe (penulis Jerman, seniman bergambar, ahli biologi, fisikawan teoretis ),  Giacomo Girolamo Casanova de Seingalt (penulis asal Venice),   Lord Byron atau George Gordon Byron (penyair Inggris)  Marcel Proust (pengarang cerita roman Prancis, pengkritik), dan Charles Dickens (pengarang cerita roman Inggris).
Caffe Florian juga menjadi tempat kali pertama surat Kabar Gazzetta Veneta dapat dibeli. Kafe ini menjadi tempat editor Gazzetta Veneta bekerja termasuk  Gasparo Gozzi , tokoh sejarah Italia yang dikenal sebagai penyair dan pengkritik  yang juga wartawan Gazzetta Veneta.  Selain itu, Caffé Florian menjadi  tempat bertemunya banyak kalangan dengan berbagai urusan, mulai dari urusan seni hingga politik.
Salah satu sejarah Italia bahkan dunia yang ‘dilahirkan’ di Caffe Florian adalah  The Venice Biennale dalam pertemuan di Senate Room of caffe, salah satu dari 4 ruangan di Caffe Florian.  The Venice Biennale adalah pameran kesenian kontemporer utama yang dilaksanakan dua tahun sekali  di Venice, termasuk Venice Film Festival dan International Festival of Contemporary Dance di dalamnya .
Pada awal abad ke 19, Valentino Francesconi, cucu laki-laki Floriano Francesconi, mengambil alih bisnis itu dan membuat Caffe Florian semakin menarik. Lukisan asli para tokoh besar asal Venice (Venetians) pun menghiasi dinding kafe. Sebut saja beberapa di antaranya Goldoni, Marco Polo, Titian, Francesco Morosini, Pietro Orseolo, Andrea Palladio, Benedetto Marcello, Paolo Sarpi, Vettor Pisani dan Enrico Dandolo.  Lukisan-lukisan ini masih bisa disaksikan hingga saat ini, termasuk lukisan perempuan dari yang berbusana hingga tanpa busana.
Selain lukisan, dinding Caffe Florian banyak dihiasi cermin-cermin besar berbingkai klasik. Ada juga ruangan yang khusus menempatkan lukisan Italia Modern.  Tak sedikit lukisan-lukisan yang dipajang dipinjamkan ke sejumlah museum seluruh dunia, termasuk Centre Pompidour and Guggenheim di New York. 
Kalau melihat sejarah panjang Caffe Florian di Venice, rasanya tak sayang jika harus mengeluarkan uang 81,50 EUR. Toh kita sudah punya cerita, pernah nongkrong di kafe yang jadi tempat favoritnya  Carlo Osvaldo Goldoni, Marcel Proust, dan nama-nama besar lainnya. Belum lagi layanan yang ia tawarkan; romantis!  (far)

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Disini